Tesis
Evaluasi Kebijakan Kemitraan Pengusahaan Pariwisata Alam Taman Nasional Bali Barat Dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan ( sustainability development ) dengan tiga pilar yaitu aspek ekonomi, lingkungan serta sosial dalam pelaksanaannya dilaksanakan dengan melibatkan pihak swasta, mengingat keterbatasan pemerintah dana, sumber daya serta keahlian, tidak terkecuali ekowisata, dimana pengelolaan Taman Nasional termasuk di dalamnya. Dalam kemitraan pemerintah dengan swasta, terdapat perbedaan kepentingan yang mendasar. Pemerintah ( Dephut ) berkepentingan memberikan pelayanan publik melalui pelestarian lingkungan hidup di Taman Nasional Bali Barat. Di sisi lain, PT SBW berorientasi mengejar keuntungan. Namun dalam kenyataan keduanya disatukan dalam kemitraan dalam bentuk konsesi yang berjalan saat ini.
Fokus penelitian adalah evaluasi kebijakan kemitraan pengusahaan pariwisata alam (PPA ) Taman Nasional Bali Barat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada PT. Shorea Barito Wisata (SBW ) antara tahun 2003 sampai 2009. Landasan kebijakan yang diteliti adalah Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts – II / 1998, tentang Pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT.Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat, yang selaras dengan pembangunan berkelanjutan yaitu aspek pembangunan ekonomi, aspek lingkungan hidup, dan aspek sosial.
Acuan teori yang kemudian diterjemahkan ke dalam kerangka berpikir adalah pembangunan berkelanjutan menurut Askarz dengan tiga pilarnya yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan hidup dan aspek sosial
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dengan melakukan observasi langsung dan wawancara dengan informan sebagai data primer dan telaah dokumen sebagai data sekunder, dengan melakukan triangulasi pada saat pengolahan data.
Dari penelitian ditemukan bahwa menyangkut kebijakan kemitraan bidang pembangunan ekonomi, kurang ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, dimana wilayah TNBB sebagai kawasan ekowisata, tidak didukung oleh aliran listrik yang memadai. Kendala eksternal seperti krisis global, penyakit flu babi, flu burung, serta ancaman bom dan terorisme, harus pula dicermati. Terkait kebijakan kemitraan dalam aspek lingkungan hidup, PT. SBW sudah melakukan reforestasi,pelestarian curik Bali, pembersihan pantai, patroli bersama melalui FKMPP ( Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir ) dan lain-lain. Masyarakat desa Sumber Klampok mendukung dengan landasan awig –awig adat. Namun upaya penegakan hukum bagi pelanggar hukum masih kurang optimal. Terkait aspek sosial, PT. SBW merekrut penduduk desa Sumber Klampok sebagai karyawan di Waka Shorea, Resort and Spa, bermitra dengan masyarakat dalam pengelolaan perahu motor untuk wisata bahari, pengelolaan lahan parkir, memberi bantuan bantuan bibit tanaman tahunan, serta bantuan bea siswa kepada siswa SD. Ditemukan juga inkonsistensi kebijakan antara pusat dan daerah yaitu adanya pungutan ganda untuk retribusi hotel dan restoran.
Beberapa hal yang disarankan adalah bahwa untuk mendukung kebijakan kemitraan dalam pembangunan ekonomi diperlukan kebijakan untuk mendukung pengadaan aliran listrik yang memadai di wilayah PPA TNBB yang dikelola swasta. Selain itu Pemda Buleleng harus mampu meningkatkan daya saing daerah dengan memberikan stimulus insentif bagi para calon investor untuk pengembangan wilayah TNBB sebagai kawasan ekowisata. Juga perlu ada promosi pariwisata bersama antara dinas budpar dan swasta. Terkait pelestarian lingkungan, dapat dilakukan program tree adoption untuk mempertahankan keasrian kawasan TNBB serta starling adoption, yaitu pelepasliaran curik ( jalak ) Bali untuk mempertahankan populasinya yang kian langka. Hal ini dapat dilakukan dengan upaya pemberdayaan masyarakat ( aspek sosial dari pembangunan berkelanjutan). Juga nilai – nilai sakral di wilayah TNBB terutama di sekitar kawasan Waka Shorea Resort and Spa perlu dipahami sebagai modal budaya yang penting untuk dilestarikan. Terakhir, untuk mengatasi inkonsistensi kebijakan, perlu dilakukan sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah dengan membuat perda yang tidak bertentangan dengan kebijakan di atasnya.
Tidak tersedia versi lain