Tesis
Pelaksanaan Desentralisasi Administrasi Di Kota Bogor Tahun 1906-1942
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai penerapan sistem desentralisasi pada pemerintahan daerah Kota Buitenzorg (Bogor). Penerapan ini berlangsung di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sebagai aplikasinya, pemerintah kolonial membentuk sistem administrasi kotapraja (gemeente) sebagai suatu bukti pelimpahan kewenangan dari penguasa pusat di Belanda kepada pemerintah koloni Hindia Belanda, dan selanjutnya dari pemerintah Hindia Belanda kepada pemerintah kotapraja Buitenzorg. Atas dasar tujuan dimaksud di atas, rekonstruksi dari penelitian ini disusun berdasarkan metodologi naratif yang berbentuk kronologi. Kronologi diatur atas dasar pembagian periodisasi yang menunjukkan tahap-tahap dalam perkembangan kotapraja menjadi kotamadya Buitenzorg. Setidaknya ada tiga tahap, yaitu tahap pertumbuhan, perkembangan dan tahap pemantapan. Mengingat ketiganya diletakkan dalam konteks periodisasi era pemerintahan kolonial dalam historiografi Hindia Belanda, pendekatan dan metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah. Metode ini terdiri atas empat tahap yaitu heuristic, kritik, interpretasi dan rekonstruksi yang berakhir pada historiografi. Masing-masing tahap memiliki fungsi dan kinerja sendiri-sendiri, akan tetapi keempatnya saling berkaitan dengan susunan urutan yang telah ditetapkan. Data yang digunakan di sini semuanya adalah data tekstual masa lalu (arsip), karena topik penelitiannya adalah administrasi pemerintahan. Sebagai kesimpulan akhir dari proses rekonstruksi peristiwa bisa dikatakan bahwa pemerintah kolonial memiliki alasan untuk membentuk kotapraja Buintenzorg untuk memudahkan perkembangan kota tersebut sebagai suatu unit administrasi territorial demi kepentingan warganya. Di samping itu Buitenzorg dianggap telah memenuhi syarat untuk mengikuti sistem desentralisasi kota dengan status tersebut. Sebagai konsekuensinya, secara bertahap pemerintah pusat melimpahkan kewenangannya mulai dari pengelolaan keuangan hingga hak atas tanah dan assetaset termasuk dinas dan instansi. Meskipun pada mulanya berjalan lancar, dalam viii perkembangannya tantangan mulai muncul justru dari aplikasi desentralisasi sendiri. Hal ini tampak ketika pemerintah membentuk pemerintahan propinsi yang membuat struktur birokrasi pemerintahan daerah menjadi kian kompleks. Posisi pemerintah propinsi mengaburkan desentralisasi yang dimiliki oleh kotamadya.
Tidak tersedia versi lain